Satu Data, Satu Peta: Kemandirian Data dan Informasi yang Akurat serta Efisien
Di era digital dan desentralisasi seperti sekarang, data adalah aset yang paling berharga. Namun, memiliki data saja tidak cukup. Tantangan terbesar yang dihadapi oleh birokrasi dan sektor pembangunan di Indonesia adalah adanya fragmentasi data berbagai instansi menghasilkan data yang sama dengan metodologi dan standar yang berbeda, seringkali menyebabkan inkonsistensi, tumpang tindih, dan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan.
Inilah mengapa inisiatif strategis Satu Data Indonesia (SDI) dan Kebijakan Satu Peta (KSP) hadir sebagai dua pilar utama menuju tata kelola pemerintahan yang mandiri, akurat, dan efisien berbasis data. Kedua kebijakan ini bukan sekadar proyek teknologi informasi, melainkan sebuah revolusi mental dan struktural dalam cara pemerintah mengumpulkan, mengelola, dan membagikan informasi.
Fondasi Kemandirian Data: Satu Data Indonesia (SDI)
Satu Data Indonesia, yang diresmikan melalui Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2019, adalah upaya untuk mewujudkan ketersediaan data statistik dan data geospasial yang akurat, mutakhir, terpadu, serta mudah diakses dan dibagipakaikan antar-instansi. Tujuannya jelas: menghilangkan ego sektoral data.
Kemandirian data yang dicita-citakan oleh SDI berdiri di atas tiga pilar utama:
- Standar Data: Setiap data yang dipublikasikan harus menggunakan standar yang sama, mulai dari metadata, format, hingga kode referensi. Ini memastikan bahwa “apel” yang diukur oleh Kementerian A adalah “apel” yang sama diukur oleh Pemerintah Daerah B.
- Metadata Baku: Penyediaan informasi deskriptif tentang data (siapa yang mengumpulkan, kapan, bagaimana, dan apa definisinya). Metadata ini adalah “kamus” yang membuat data dapat dipahami dan dipercaya oleh siapa pun.
- Interoperabilitas Data: Kemampuan sistem data antar-instansi untuk berkomunikasi dan bertukar data secara mulus tanpa perlu konversi manual yang rentan kesalahan.
Dengan berpegangan teguh pada pilar-pilar ini, SDI memastikan bahwa keputusan pembangunan—mulai dari penetapan target kemiskinan, alokasi anggaran infrastruktur, hingga penanganan bencana—didasarkan pada satu sumber kebenaran (single source of truth). Ini adalah kunci menuju efisiensi, karena waktu dan sumber daya yang biasanya dihabiskan untuk memverifikasi data ganda kini dapat dialihkan ke analisis dan implementasi kebijakan.
Pilar Akurasi dan Efisiensi Spasial: Kebijakan Satu Peta (KSP)
Jika SDI berfokus pada data numerik (statistik), maka Kebijakan Satu Peta (KSP) yang diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2016 berfokus pada data geospasial (peta). Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar, sangat bergantung pada peta untuk perencanaan ruang, pengelolaan sumber daya alam, hingga penentuan batas wilayah.
Sebelum adanya KSP, peta yang digunakan oleh berbagai kementerian dan lembaga seringkali tumpang tindih dan tidak selaras, terutama dalam penetapan batas kawasan hutan, izin pertambangan, dan Hak Guna Usaha (HGU). Perbedaan peta ini menimbulkan konflik agraria, menghambat investasi, dan mempersulit penegakan hukum lingkungan.
KSP bekerja dengan menyusun satu referensi geospasial yang disepakati bersama dan diverifikasi oleh seluruh pemangku kepentingan, yang kemudian dikenal sebagai Peta Dasar. Peta ini berfungsi sebagai kerangka acuan utama untuk semua peta tematik (peta tentang hutan, tambang, sawah, dll.) yang dibuat oleh instansi manapun.
Integrasi SDI dan KSP menciptakan sinergi yang luar biasa. Data statistik yang akurat dari SDI dapat ditampilkan secara visual di atas peta yang akurat dan terpadu dari KSP. Contohnya, data tingkat kemiskinan (SDI) dapat dipetakan secara spasial (KSP) untuk mengidentifikasi kantong-kantong kemiskinan terparah di suatu wilayah, sehingga intervensi kebijakan menjadi sangat presisi dan tepat sasaran.
Tantangan dan Jalan ke Depan
Perjalanan menuju kemandirian data dan informasi yang utuh masih menghadapi sejumlah tantangan. Selain kendala teknis seperti standarisasi dan infrastruktur TIK, tantangan terbesar adalah perubahan budaya kerja. Diperlukan komitmen politik yang kuat dan pelatihan berkelanjutan agar setiap produsen dan walidata di setiap tingkatan pemerintahan tidak lagi menganggap data sebagai “aset pribadi” instansi, melainkan sebagai “aset publik” yang wajib dibagikan.
Masa depan Indonesia yang didasarkan pada Satu Data, Satu Peta adalah masa depan di mana setiap keputusan pembangunan didukung oleh fakta yang tunggal, terverifikasi, dan efisien. Ini bukan hanya tentang transparansi, tetapi juga tentang pembangunan yang berkelanjutan, investasi yang aman, dan pelayanan publik yang optimal. Melalui sinergi SDI dan KSP, Indonesia sedang membangun fondasi kuat untuk menjadi negara maju yang sepenuhnya mandiri dalam mengelola masa depannya dengan informasi yang akurat dan terpadu.
Manfaat utama dari penerapan Satu Data dan Satu Peta adalah terciptanya efisiensi dalam pengelolaan informasi. Ketika data terintegrasi, proses analisis menjadi lebih cepat karena tidak perlu lagi melakukan verifikasi berulang. Selain itu, transparansi juga meningkat karena masyarakat dapat mengakses data yang valid dan terpercaya. Hal ini sejalan dengan prinsip good governance yang menekankan keterbukaan informasi publik.
Implementasi konsep ini tentu memerlukan dukungan teknologi yang mumpuni. Sistem basis data terpusat, platform berbagi data, serta teknologi big data dan cloud computing menjadi fondasi utama. Selain itu, diperlukan regulasi yang jelas agar setiap instansi memiliki kewajiban untuk menyajikan data sesuai standar yang telah ditetapkan. Kolaborasi antar lembaga juga menjadi kunci keberhasilan, karena tanpa sinergi, integrasi data tidak akan berjalan optimal.
Tantangan lain yang harus dihadapi adalah peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Pengelolaan data memerlukan keahlian khusus, mulai dari pengumpulan, validasi, hingga analisis. Oleh karena itu, pelatihan dan pendidikan di bidang data science, GIS (Geographic Information System), serta manajemen informasi harus diperkuat. Dengan SDM yang kompeten, kualitas data yang dihasilkan akan semakin baik.
Selain aspek teknis, penting juga untuk membangun budaya data di masyarakat. Kesadaran akan pentingnya data yang akurat harus ditanamkan sejak dini. Masyarakat perlu memahami bahwa setiap informasi yang mereka berikan, baik melalui sensus maupun survei, akan berdampak pada kebijakan yang diambil pemerintah. Dengan partisipasi aktif, kualitas data nasional akan semakin meningkat.
Ke depan, penerapan Satu Data dan Satu Peta diharapkan dapat mendukung berbagai sektor, mulai dari perencanaan pembangunan, pengelolaan sumber daya alam, hingga penanggulangan bencana. Misalnya, dalam menghadapi bencana alam seperti banjir atau gempa, data yang terintegrasi akan mempermudah proses evakuasi dan penyaluran bantuan. Begitu pula dalam pembangunan infrastruktur, satu peta yang akurat akan menghindari tumpang tindih proyek dan konflik lahan.
Kesimpulannya
Satu Data dan Satu Peta bukan sekadar program pemerintah, melainkan sebuah langkah strategis menuju kemandirian data dan informasi yang akurat dan efisien. Dengan dukungan teknologi, regulasi, SDM, dan partisipasi masyarakat, Indonesia dapat mewujudkan tata kelola data yang transparan, efektif, dan berkelanjutan. Inisiatif ini akan menjadi fondasi penting dalam mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berorientasi pada masa depan.

