Menavigasi Era Kecerdasan Buatan: Indonesia Memperkuat Tata Kelola dan Etika AI
Soes Hari Putra – Di tengah gelombang adopsi teknologi kecerdasan buatan (AI) yang kian pesat, Indonesia menghadapi tantangan sekaligus peluang baru. Peningkatan penggunaan AI di berbagai sektor memunculkan kekhawatiran yang mendalam mengenai dampak sosial, etika, dan integritas. Menanggapi hal ini, fokus kini bergeser pada pembentukan kerangka tata kelola (governance) yang kuat, memastikan bahwa inovasi AI berjalan beriringan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan etika yang bertanggung jawab.
Diskusi mengenai AI tidak lagi terbatas pada aspek teknis, melainkan merambah ke ranah filosofis dan regulasi. Kekhawatiran utama sering kali berkisar pada potensi AI untuk menggantikan peran manusia dalam berbagai pekerjaan atau mengancam integritas karya intelektual. Menjawab tantangan ini, berbagai institusi, baik di tingkat pemerintah maupun akademik, mulai bergerak aktif.
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendiktisaintek) menunjukkan komitmennya dalam menjaga pilar utama pendidikan. Di lingkungan akademik, adopsi AI, khususnya alat bantu generatif, memicu perdebatan mengenai orisinalitas karya tulis ilmiah dan objektivitas penilaian. Untuk mengatasi risiko ini, Kemendiktisaintek sedang memperkuat tata kelola pemanfaatan AI, merumuskan kebijakan yang memungkinkan mahasiswa dan peneliti memanfaatkan keunggulan AI sebagai alat bantu, tanpa mengorbankan integritas akademik, kejujuran, dan etika penelitian. Tujuannya adalah menciptakan ekosistem pendidikan yang adaptif terhadap teknologi, namun tetap menjunjung tinggi standar keilmuan.
Dari sisi akademisi, pandangan yang lebih optimistis muncul. Dekan Fakultas Filsafat UGM, Prof. Dr. Rr. Siti Murtiningsih, M.Hum., menuturkan rasa khawatir yang muncul para ahli dan ilmuwan seiring dengan perkembangan AI yang semakin tidak terbendung ini adalah sesuatu yang wajar. “Tetapi, sesungguhnya kalau kita merefleksikan, itu adalah cerminan dari manusia yang sebenarnya memiliki kekuatan-kekuatan tersembunyi yang yang kalau bisa kita kelola dengan baik, itu akan melahirkan hal yang tidak terbayangkan sebelumnya, termasuk perkembangan teknologi yang kemudian kita sebut dengan AI.
Dari sudut pandang Siti, rasa khawatir adalah hal yang memang wajar. Akan tetapi, kita dapat mengatasi rasa khawatir tersebut dan mulai untuk berpikir kreatif tentang untuk kemudian menempatkan atau memberlakukan teknologi AI ini sebagai mitra kawan kolaboratif. “Selalu bijaklah hidup di tengah teknologi AI dan bermitralah dengan sehat sebagai pengguna ataupun pembuat”.
Langkah-langkah ini, baik dari sisi regulasi pemerintah maupun pandangan filosofis akademisi, menunjukkan kematangan ekosistem teknologi di Indonesia. Fokus pada tata kelola dan etika AI sangat krusial untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak hanya menciptakan efisiensi ekonomi, tetapi juga menjaga kohesi sosial dan martabat manusia. Era AI bukan tentang perang antara manusia dan mesin, melainkan tentang bagaimana manusia dengan bijak mengelola dan mengarahkan potensi besar teknologi ini untuk kebaikan bersama.

Na
Setuju.
Bijaksana penggunaan AI yang dibatasi dengan regulasi dan etika “ber-AI” yang baik dan betul, seharusnya dapat memberikan kemudahan, efektifitas dan efisiensi dalam beraktifitas yang bertujuan untuk membantu manusia lebih produktif dengan mengembangkan kapabilitas lain yang dimiliki dan mungkin belum berkembang/dikembangkan.
PR selanjutnya adalah mendorong kolaborasi pemerintah, pihak pemrogram, dan enduser untuk menyadari betul pemaknaan peran AI yang baik dan optimal.