Soes Hari Putra

Menjadi pintar itu karena belajar. Belajar itu tentang berbagi. Berbagi dengan cara baru yang mudah: sharepointindonesia.net

Kebijaksanaan dan Kearifan Pahlawan : Bung Tomo – Jiwa yang Merdeka

Filosofi kemerdekaan menuju ke jiwa yang merdeka.

Masih di bulan November, masih dalam semangat kepahlawanan, saya mencoba untuk sedikit mengangkat tema – wisdom of hero – kebijaksanaan dan kearifan pahlawan. Jadi saya membahas pahlawan dari aspek gagasan dan ide-ide yang mungkin menginspirasi kita. Kita mencari apa yang bisa kita teladani dan kita lanjutkan dari para pahlawan.

Bung Tomo. Kita semua pasti sangat mengenal tokoh ini. Bung Tomo lahir tahun 1920 meninggal tahun 1981. Beliau putra seorang pegawai, sempat sekolah di HIS, di Mulo, AMS Surabaya. Meskipun kemudian diakhir-akhir kekurangan biaya, perekonomian keluarganya memburuk, kemudian beliau sambil bekerja menjadi wartawan. Jadi, beliau lama jadi jurnalis. Artikel-artikel dan tulisan-tulisan beliau banyak sekali.

Bung tomo yang kita kenal dari pertempuran Surabaya 10 November 1945. Tapi masih banyak kiprah beliau sampai setelah merdeka. Sosok pemberani dan sangat kritis. Beliau tidak ragu untuk mengkritik apabila ada sesuatu yang tidak benar.

Apa sih yang bisa kita teladani dari beliau?

Dari gagasan dan kritikan, beliau seorang tokoh yang jiwanya memang benar merdeka. Tidak terikat oleh apapun dan tidak takut pada apapun.

Yang pertama, Bung Tomo itu seorang nasionalis yang sangat cinta pada tanah airnya. Cinta tanah air itu tidak sekedar fanatik terhadap bangsa ini, tapi juga bagian dari keimanan pada Tuhan, serta bagian dari keyakinannya pada martabat dan kehormatan manusia yang tidak boleh ada jajah-menjajah, zalim-menzalimi. Tidak sekedar bangga tapi juga cinta, dan ikut bertanggung jawab terhadap nasib bangsa ini.

Yang kedua, beliau menolak sikap apatis. Apatis itu tidak peduli dengan bangsanya. Orang apatis juga tidak percaya kalau bangsa ini bisa maju dan bisa benar merdeka. Pada masa itu, banyak orang apatis. Merasa tidak mungkin kita bisa mengalahkan Belanda, merasa berat ngalahkan Jepang. Dimasa sekarang kita mulai banyak mendapati diksi-diksi apatis. Mulai banyak yang tidak percaya dengan bangsanya sendiri, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Bangsa itu bagian dari identitas kita. Orang yang punya mental apatis sebenarnya secara tidak sadar dia terjebak pada inferioritas. Kita tahu problem kebangsaan kita masih banyak, masih bertumpuk-tumpuk. Tapi bukan berarti terus kita minder apalagi apatis. Kalau kita mau, kalau kita serius bersama-sama insyaallah bisa.

Jadi saat itu bagaimana perjuangan beratnya melawan penjajah yang persenjataannya canggih, modern, kita gak punya apa-apa. Hanya senjata sisa-sisa sebagian besar bikin sendiri. Tapi dengan semangat juang yang tinggi kita bisa.

Yang ketiga, beliau selalu memupuk semangat yang tinggi. Sebagaimana kutipan beliau, “Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih jadi merah dan putih, selama itulah kita tidak akan menyerah pada siapapun juga”.

Semua kita selama kita masih bersemangat, selama kita masih punya darah merah, maka kita masih bisa membuat kain putih jadi merah putih. Jadi kita masih bisa mewarnai bangsa ini, menjayakan bangsa ini, memenangkan bangsa ini, maka kita tidak akan menyerah pada siapapun. Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap merdeka atau mati. Ini ada dasar filosofinya. Quots ini sebenarnya ada di banyak tokoh, tidak hanya di Indonesia. Mahatma Gandhi, Jose Rizal Filipina dan Nelson Mandela juga punya prinsip semacam ini. Jadi sebenarnya prinsip ini tidak hanya di Indonesia.

Pertanyaannya, mengapa pilihannya merdeka atau mati? Ada beberapa argumen jika kita ingin berfilsafat tentang ini. Daptkan versi lengkapnya di https://filsafat.soeshariputra.id/kebijaksanaan-dan-kearifan-pahlawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *.

*
*